Selasa, 8
September 2015 | 02:50 WIB
PANGKALPINANG,
KOMPAS.com -
Kepala Kepolisian Daerah Kepulauan Bangka Belitung, Brigjen Pol Gatot
Subiyaktoro, mengungkapkan bahwa kasus pelecehan seksual dan kekerasan terhadap
anak-anak di daerah itu terus meningkat.
"Pelecehan
seksual dan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Babel semakin meningkat
setiap tahunnya. Sudah sering kali kami imbau masyarakat untuk menghindari tindakan
di luar norma seperti itu. Perempuan dan anak mempunyai hak-hak yang sama untuk
dilindungi," ujarnya di Pangkalpinang, Senin.
Ia
mengimbau kepada semua masyarakat untuk lebih meningkatkan kepedulian terhadap
hak-hak anak yang terampas dan terabaikan. Karena, menurut dia, masalah anak
bukan lagi masalah pribadi atau keluarga, akan tetapi sudah menjadi tanggung
jawab bersama, baik secara sosial maupun secara moral.
"Kriminalitas
anak ini terjadi tidak lepas dari peran dan tanggung jawab orang tua dalam
mendidik hingga mengawasi anak," katanya.
Ia
menyebutkan, kurangnya kepedulian orangtua terhadap anak seperti hak
mendapatkan perawatan, perlindungan, hak asuh yang layak dan kasih sayang serta
kesehatan juga pendidikan menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan dan
pelecehan.
"Untuk
itu diminta kepada semua orang tua agar lebih memperhatikan dan peduli kepada
anak-anaknya, supaya kita selalu bisa menjaga anak-anak kita dari segala tindak
kekerasan terhadap anak," katanya.
Ia
mengatakan, pihak kepolisian selalu menangani secara khusus kasus kriminalitas
yang melibatkan anak di bawah umur, mulai dari anak yang menjadi pelaku
kejahatan ataupun sebagai korban sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak.
"Dalam mencakup permasalahan hukum yang
melibatkan anak, Polda Babel mengandalkan Subdit Remaja, Anak dan Wanita
(Renata) yang tergabung dalam tubuh Direktorat Reserse Kriminal Umum
(Dit-Reskrimum). Selain itu kami juga berupaya mengoptimalkan unit Pelayanan
Perempuan dan Anak (PPA) di tingkat Polres jajaran," ujarnya.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 telah dijelaskan bahwa tindak
pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur merupakan sebuah kejahatan
kesusilaan yang bagi pelakunya harus diberikan hukuman yang setimpal. Maksudnya
dengan dijatuhkan hukuman kepada si pelaku sehingga dapat kiranya tindakan
pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dapat dicegah sehingga perbuatan
tersebut tidak terjadi lagi.
Pasal 50 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa ada empat
tujuan penjatuhan hukuman yaitu:
Untuk mencegah terjadinya tindak pidana
dengan menegakkan norma- norma hukum demi pengayoman masyarakat.
Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang lebih baik dan berguna.
Untuk menyelesaikan komplik yang ditimbulkan oleh
tindak pidana (memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai).
Untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana.[1]
Adapun dalam KUHP, pasal- pasal yang mengatur tentang
hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur terdapat
dalam pasal 287, dan 292 KUHP:
Pasal 287 ayat (1)
KUHP berbunyi:
“Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di
luar perkawinan, padahal diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau umurnya
tidak jelas, bahwa ia belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun”.
Tapi
apabila perbuatan persetubuhan itu menimbulkan luka-luka atau kematian maka
bagi sipelaku dijatuhkan hukuman penjara lima belas tahun, sebagai mana yang
telah ditetapakan dalam pasal 291 KUHP.[2]
Pasal 292 KUHP:
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan
orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya
belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”[3]
Sedangkan
di dalam Undang -Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
ada dua pasal yang mengatur tentang ancaman hukuman bagi pelaku pelecehan
seksual terhadap anak di bawah umur yaitu pasal 81 dan pasal 82.
Pasal 81 yang bunyinya:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan
atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.
000. 000, 00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 82 yang bunyinya:
Setiap orang
yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp.300. 000. 000, 00 ( tiga ratus juta rupiah)
dan paling sedikit Rp. 60. 000. 000, 00 (enam puluh juta rupiah).[4]
Dari
paparan pasal- pasal tentang hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap
anak di bawah umur tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukuman bagi
si pelaku bervariasi, bergantung kepada perbuatannya yaitu apabila perbuatan
tersebut menimbulkan luka berat seperti tidak berfungsinya alat reproduksi atau
menimbulkan kematian maka hukuman bagi si pelaku akan lebih berat yaitu 15
tahun penjara. Tetapi apabila tidak menimbulkan luka berat maka hukuman yang
dikenakan bagi si pelaku adalah hukuman ringan.
Tindak
pidana pelecehan seksual yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang
bukan isterinya merupakan delik aduan yang maksudnya adalah bahwa hanya
korbanlah yang bisa merasakannya dan lebih berhak melakukan pengaduan kepada
yang berwenang untuk menangani kasus tersebut.
Hal pengaduan ini juga bisa dilakukan
oleh pihak keluarga korban atau orang lain tetapi atas
suruhan si korban. Cara mengajukan pengaduan itu ditentukan dalam pasal 45 HIR
dengan ditanda tangani atau dengan lisan. Pengaduan dengan lisan oleh pegawai
yang menerimanya harus ditulis dan ditanda tangani oleh pegawai tersebut serta
orang yang berhak mengadukan perkara .[5]
Adapun
mengenai delik aduan dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu: delik aduan absolut
dan delik aduan relatif.
Delik aduan absolut adalah delik (peristiwa
pidana) yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan. Dan dalam pengaduan
tersebut yang perlu dituntut adalah peristiwanya sehingga permintaan dalam
pengaduan ini harus berbunyi: “saya meminta agar tindakan atau perbuatan ini
dituntut”. Delik aduan absolut ini tidak dapat dibelah maksudnya adalah
kesemua orang/ pihak yang terlibat atau yang bersangkut paut
dengan peristiwa ini harus dituntut. Karena yang dituntut di dalam
delik aduan ini adalah peristiwa pidananya.
Delik aduan relatif adalah delik (peristiwa
pidana) yang dituntut apabila ada pengaduan. Dan delik aduan relatif ini dapat
dibelah karena pengaduan
ini diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya,
tetapi yang dituntut di sini adalah orang-orang yang bersalah dalam peristiwa
ini.
Berdasarkan penjelasan tentang delik aduan di atas,
maka penulis menggolongkan bahwa tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak
di bawah umur merupakan delik aduan relatif, karena yang dituntut di sini
adalah orang yang telah bersalah dalam perbuatan
tersebut.
Dengan demikian untuk dapat di tuntut dan dilakukan
pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pelecehan seksual, maka
syarat utama adalah adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan. Apabila tidak
ada pengaduan dari pihak yang dirugikan maka pelaku tindak pidana tersebut
tidak dapat dituntut atau dijatuhi pidana kecuali peristiwa tersebut
mengakibatkan kematian sesuai dengan pasal 287 KUHP. Pemidanaan bagi pelaku
tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur baru
dapat dilakukan apabila syarat-syarat untuk itu terpenuhi seperti adanya
pengaduan dan di pengadilan perbuatan tersebut terbukti.
Apabila tindak pidana pelecehan seksual itu dapat
dibuktikan bahwa orang yang diadukan benar telah melakukannya, maka pidana yang
diatur dalam Pasal 287 KUHP dapat diterapkan. Kemudian yang menjadi
penentu dijatuhi hukuman adalah terbuktinya perbuatan itu di pengadilan. Dan
dalam pembuktian itu harus ada sekurang-kurangnya dua alat bukti dan disertai
dengan keyakinan hakim.
Mengenai pembuktian ini diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 183 yang menyatakan
bahwa:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan juga
hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.[6]
Adapun yang dimaksud dengan alat bukti yang sah
adalah alat bukti yang ditetapkan dalam Pasal 184 KUHAP yang
menyatakan bahwa:[7]
1. Alat bukti yang sah adalah:
a. Keterangan
saksi
b. Keterangan
ahli
c. Alat
bukti petunjuk
d. Keterangan
terdakwa.
2. Hal yang secara umum yang telah
diketahui tidak perlu dibuktikan.
Yang
dimaksud dengan keterangan saksi di sini adalah: apa yang
disampaikan atau dinyatakan oleh saksi di sidang pengadilan tentang
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, atau yang ia alami
sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya ini. Dan keterangan ahli
yang dimaksudkan adalah keterangan yang diberikan oleh
seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan
untuk membuat terang atau jelas suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan yang dinyatakan di sidang
pengadilan. Sedangkan
yang dimaksud dengan alat bukti petunjuk adalah: perbuatan, kejadian atau
keadaan yang karena persesuaian, baik antara yang satu dengan yang
lainnya, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya. Dan yang dimaksud dengan keterangan terdakwa
adalah: apa yang disampaikan atau yang dinyatakan di sidang pengadilan tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri.[8] Adapun
yang dimaksud dengan hal yang secara umum telah diketahui adalah keadaan dari
diri si korban yang dapat dilihat langsung yaitu dengan adanya tanda-tanda kehamilan
atau sebagainya.[9]
SUMBER
http://peunebah.blogspot.co.id/2011/10/hukuman-terhadap-pelaku-tindak-pidana.html
http://regional.kompas.com/read/2015/09/08/02500371/Kasus.Pelecehan.Anak.di.Babel.Meningkat